4/10
Sebelum memutuskan menonton film ini, saya berpikir panjang kira-kira semalaman gak bisa tidur. Kenapa? Bukan karena saya dag-dig-dug mau mengelihat Carissa Putri, tapi karena kepala saya dipenuhi suara neolib – neolib – neolib berulang-ulang. Tapi karena saya punya tanggung jawab moral (haha…) kepada kalian semua pembaca blog saya, yaitu berupa harus terus meng-update tulisan di blog ini, makanya saya teguhkan hati melangkahkan kaki untuk menonton film ini.
Jangan tertipu oleh judul film ini yang bagus. Hijab sama sekali tidak bercerita tentang hijab, atau perempuan berhijab. Film Hijab bercerita tentang sekelompok ibu-ibu yang ingin memiliki penghasilan sendiri melalui jualan Hijab. Awalnya online, lalu mereka membuka real life store. Kebetulan saja mereka mengenakan jilbab, dan berjualan jilbab.
Film ini tidak bercerita tentang perjalanan spiritual muslimah saat memutuskan untuk berhijab (walau kata-kata ini disebutkan di akhir film dengan kesan menggurui). Setengah awal film menceritakan bagaimana 4 perempuan itu memulai bisnis hijab dengan penggambaran yang super absurd. Tak ada kendala apapun, bisnis dimulai dengan mudah dan gampang, segampang menjentikkan jari.
Lalu setengah film akhir, bagaikan berada di film yang berbeda, menceritakan tentang problem rumah tangga tokoh-tokohnya dengan gaya pragmatis, dan tak ada hubungannya sama sekali dengan hijab.
Saya sebenarnya berusaha sekuat tenaga untuk tidak bias dalam menulis ini. Artinya saya hanya ingin menulis review dari sisi sinematik aja. Tapi untuk film ini sama sekali gak bisa saya lakukan. Why?
Pertama: karakter-karakter wanita yang ditampilkan di film ini sangat outdated dan sangat tidak realistis.
Apakah pernah ada muslimah masa kini yang berbohong atau menyembunyikan bisnisnya dari suaminya? Saya rasa gak ada. Kalau ada pun, pastilah wanita tersebut adalah wanita bodoh. Teman-teman wanita saya yang sudah menikah, banyak yang menjalankan bisnis ataupun bekerja kantoran. Mereka gak pernah menyembunyikan pekerjaan mereka dari suami mereka, dan mereka sukses memainkan peran sebagai ibu RT dan sebagai wanita pekerja karena suami mendukung mereka.
Justru saya melihat tokoh-tokoh dalam film hijab tak menunaikan kewajibannya sebagai ibu RT. mereka tak pernah digambarkan mengurus anak dan mengurus suami. Zaskia adya mecca cuma kelihatan duduk-duduk di depan tumpukan pakaian kotor dan mesin cuci sambil telpon-telponan. Lalu anaknya dibiarkan makan sendiri, main sendirian di sofa sementara dia ngobrol sama teman-temannya. Ini sangat tidak realistis. Justru ini yang harusnya menyebabkan keretakan rumah tangga. Bukan…
Kedua: Suami yang arogan. Suami-suami di film ini dikarakterisasi dengan sangat lemah. Sama sekali gak ada chemistry dengan istri mereka. Suami zaskia yang paling parah, dan paling bodoh. Masak bisa marah sama istrinya yang bekerja? Pernah nemu gak suami yang kayak gini? Seumur hidup belum pernah. Setahu saya, berdasarkan pengalaman teman-teman saya, seorang istri memutuskan berhenti kerja dan menjadi ibu RT full karena ingin mengurus anak. Bukan karena suami yang menggunakan dalil-dalil agama dengan cara yang konyol. Sayangnya, dalih mengurus anak tak pernah digubris dalam film ini, seolah hal itu sama sekali gak penting.
Pertanyaan saya yang paling utama: inti film ini sebenarnya apa sih? Yang pasti hijab hanya jadi cantolan untuk judul saja. Kalo dibilang inti film tentang problem rumah tangga istri-istri yang gak boleh bekerja karena suami ekstrimis, rasanya pun terlalu dangkal karena problematika yang ditampilkan tak realistis dan cenderung dibuat-buat. Lalu apa sebenarnya tujuan film ini dibuat? Supaya jadi media untuk menampilkan adegan-adegan dan dialog propaganda?
Propaganda Islam Liberal? Bertebaran sepanjang film. Gak usahla saya beberkan satu persatu karena saya pun sekarang sedang berusaha menghapus memori film Hijab dari dalam otak saya. Okelah kalau filmmaker ybs ingin membuat film propaganda Islam Liberal, tapi buatlah secara cerdas, bukan dengan bodoh dan membodohi. Namun entah kenapa, filmmaker selalu gagal membuat film Islam Liberal yang cerdas. Yang ada selalu menjadi cibiran.