Movie review: Hijab

4/10

IMG_1534.JPG

Sebelum memutuskan menonton film ini, saya berpikir panjang kira-kira semalaman gak bisa tidur. Kenapa? Bukan karena saya dag-dig-dug mau mengelihat Carissa Putri, tapi karena kepala saya dipenuhi suara neolib – neolib – neolib berulang-ulang. Tapi karena saya punya tanggung jawab moral (haha…) kepada kalian semua pembaca blog saya, yaitu berupa harus terus meng-update tulisan di blog ini, makanya saya teguhkan hati melangkahkan kaki untuk menonton film ini.

Jangan tertipu oleh judul film ini yang bagus. Hijab sama sekali tidak bercerita tentang hijab, atau perempuan berhijab. Film Hijab bercerita tentang sekelompok ibu-ibu yang ingin memiliki penghasilan sendiri melalui jualan Hijab. Awalnya online, lalu mereka membuka real life store. Kebetulan saja mereka mengenakan jilbab, dan berjualan jilbab.

Film ini tidak bercerita tentang perjalanan spiritual muslimah saat memutuskan untuk berhijab (walau kata-kata ini disebutkan di akhir film dengan kesan menggurui). Setengah awal film menceritakan bagaimana 4 perempuan itu memulai bisnis hijab dengan penggambaran yang super absurd. Tak ada kendala apapun, bisnis dimulai dengan mudah dan gampang, segampang menjentikkan jari.

Lalu setengah film akhir, bagaikan berada di film yang berbeda, menceritakan tentang problem rumah tangga tokoh-tokohnya dengan gaya pragmatis, dan tak ada hubungannya sama sekali dengan hijab.

Saya sebenarnya berusaha sekuat tenaga untuk tidak bias dalam menulis ini. Artinya saya hanya ingin menulis review dari sisi sinematik aja. Tapi untuk film ini sama sekali gak bisa saya lakukan. Why?

Pertama: karakter-karakter wanita yang ditampilkan di film ini sangat outdated dan sangat tidak realistis.
Apakah pernah ada muslimah masa kini yang berbohong atau menyembunyikan bisnisnya dari suaminya? Saya rasa gak ada. Kalau ada pun, pastilah wanita tersebut adalah wanita bodoh. Teman-teman wanita saya yang sudah menikah, banyak yang menjalankan bisnis ataupun bekerja kantoran. Mereka gak pernah menyembunyikan pekerjaan mereka dari suami mereka, dan mereka sukses memainkan peran sebagai ibu RT dan sebagai wanita pekerja karena suami mendukung mereka.
Justru saya melihat tokoh-tokoh dalam film hijab tak menunaikan kewajibannya sebagai ibu RT. mereka tak pernah digambarkan mengurus anak dan mengurus suami. Zaskia adya mecca cuma kelihatan duduk-duduk di depan tumpukan pakaian kotor dan mesin cuci sambil telpon-telponan. Lalu anaknya dibiarkan makan sendiri, main sendirian di sofa sementara dia ngobrol sama teman-temannya. Ini sangat tidak realistis. Justru ini yang harusnya menyebabkan keretakan rumah tangga. Bukan…

Kedua: Suami yang arogan. Suami-suami di film ini dikarakterisasi dengan sangat lemah. Sama sekali gak ada chemistry dengan istri mereka. Suami zaskia yang paling parah, dan paling bodoh. Masak bisa marah sama istrinya yang bekerja? Pernah nemu gak suami yang kayak gini? Seumur hidup belum pernah. Setahu saya, berdasarkan pengalaman teman-teman saya, seorang istri memutuskan berhenti kerja dan menjadi ibu RT full karena ingin mengurus anak. Bukan karena suami yang menggunakan dalil-dalil agama dengan cara yang konyol. Sayangnya, dalih mengurus anak tak pernah digubris dalam film ini, seolah hal itu sama sekali gak penting.

Pertanyaan saya yang paling utama: inti film ini sebenarnya apa sih? Yang pasti hijab hanya jadi cantolan untuk judul saja. Kalo dibilang inti film tentang problem rumah tangga istri-istri yang gak boleh bekerja karena suami ekstrimis, rasanya pun terlalu dangkal karena problematika yang ditampilkan tak realistis dan cenderung dibuat-buat. Lalu apa sebenarnya tujuan film ini dibuat? Supaya jadi media untuk menampilkan adegan-adegan dan dialog propaganda?

IMG_1535.JPG

Propaganda Islam Liberal? Bertebaran sepanjang film. Gak usahla saya beberkan satu persatu karena saya pun sekarang sedang berusaha menghapus memori film Hijab dari dalam otak saya. Okelah kalau filmmaker ybs ingin membuat film propaganda Islam Liberal, tapi buatlah secara cerdas, bukan dengan bodoh dan membodohi. Namun entah kenapa, filmmaker selalu gagal membuat film Islam Liberal yang cerdas. Yang ada selalu menjadi cibiran.

Movie Review: Jessabelle

5/10

IMG_1521.JPG

Apakah Jessabelle ada hubungan saudara dengan Annabelle?

Jawabannya tidak.

Sebenarnya yang paling bikin penonton kesal sama film horor adalah si tokoh utama yang terkesan bego. Udah tahu dirinya lumpuh akibat kecelakaan, tinggal pula dia sama ayahnya yang pemabuk di rumah tua yang angker. Ya pasti diganggu setan-setan penasaran la.

Jessabelle cukup menyeramkan jika ditilik dari atmosfir film yang suram dan bikin stress penonton. Tokoh utama yang lumpuh, tinggal sendirian di dalam rumah angker. Premis yang sangat baik. Ditambah lagi, penulis naskah membuka sedikit demi sedikit tabir cerita, yang menempatkan penonton di kursi tokoh utama. Jadi bila si tokoh utama ketakutan, penonton ikut ketakutan. Penonton juga tahu petunjuk sesedikit yang diketahui tokoh utama.

Masalahnya Jessabelle kekurangan momen-momen menyeramkan. Cuma ada beberapa dan itupun gak seram-seram amat. Idenya pun banyak yang gak orisinil. Seperti kaset video yang mengingatkan kita pada The Ring, dan tabir misteri yang sudah pernah ditampilkan di film horor seram The Skeleton Key. Dan hello, rasa penasaran Jessie si tokoh utama harusnya gak eksis sama sekali. Karena daripada dia penasaran, mending dia melanjutkan hidupnya dan ikut terapi pemulihan kaki lumpuhnya, alih-alih berkeliaran di rawa-rawa sampe tengah malam.

IMG_1522.JPG

Pelajaran yang bisa dipetik dari film Jessabelle, sebaiknya Hollywood stop membuat film horor dengan judul nama-nama mirip princess (AnnaBELLE, JessaBELLE). Sudah kodrati nama-nama tersebut untuk mendapatkan jalan cerita film fun dan happy ending, bukan film horor. Ya beginilah nasibnya, jadi film yang gak bagus.

Movie Review: Erau Kota Raja

3/10

700

Erau adalah sebuah tradisi budaya Indonesia yang dilaksanakan setiap tahun dengan pusat kegiatan di kota TenggarongKutai KartanegaraKalimantan Timur. Erau berasal dari bahasa Kutaieroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Suasana yang ramai, riuh rendah suara tersebut dalam arti: banyaknya kegiatan sekelompok orang yang mempunyai hajat dan mengandung makna baik bersifat sakral, ritual, maupun hiburan.

(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Erau

Bapak dan Ibu, Om dan Tante, Kakak dan Adik, Sodara-sodara pembaca, pasti kalian heran kenapa saya mengutip tulisan dari wikipedia, dan bukan memberikan tulisan saya sendiri?

Karena  itulah yang saya rasakan setelah menonton film Erau ini. Saya sama sekali gak mendapatkan apapun dari film ini, seperti informasi apa Erau itu sebenarnya (saya baru ngeh Erau adalah sebuah perayaan atau parade setelah membaca artikel di wiki yang saya kutip di atas), alur cerita yang masuk akal, bahkan cerita dengan standart minimal pun gak saya dapatkan melalui film ini.

Jadi daripada saya melibas film ini dengan gaya judes bak ibu tiri, mendingan saya kutip aja artikel di wiki sebagai info buat kalian semua. Film ini sebenarnya bertujuan baik, yaitu untuk mempromosikan budaya di Tenggarong, Kalimantan Timur (Yak, betul sodara-sodara, Tenggarong ada di Kalimantan Timur – Kalimantan Timur sama sekali gak disebut sekalipun di dalam film) tapi sayangnya gak satupun budaya Erau maupun Tenggarong diceritakan dengan baik, tuntas, dan jelas di dalam film. Dan jangan berharap banyak dengan cerita filmnya yang dimaksudkan untuk memberi nyawa pada film promosi budaya ini, karena standart minimal cerita baik pun sama sekali gak dimiliki oleh film ini.

Tapi jangan khawatir, kalian masih bisa terhibur koq selama menonton film Erau, karena ada beberapa laughable dialogue yang bikin aku terbahak-bahak saking bodohnya, seperti:

1. Nadine kepada Doni dan Dika Ada Band: “Kalian masih disini?” (padahal Doni dan Dika baru aja sampai di tempatnya Nadine).

2. Nadine sambil memfoto Orang Utan: “Jadi kepunahan mereka bisa diperhatikan.” (Kepunahan binatang langka koq diperhatikan sih buk? Masa’ mau ditonton aja? Ya dicegah dong.)

3. Denny kepada Jajang yang sedang sakit: “Ibu jangan terlalu capek” (Urrrmmm…. Bukannya ibunya sehari-hari hanya tinggal di rumah dan gak melakukan apa-apa selain menunggu anaknya pulang? Ternyata pekerjaan seperti itu bisa membuat orang sakit juga ya).

4. Nadine kepada Jajang yang sedang esmosi melihat Nadine di rumahnya: “Kenalkan, saya Kirana temannya Reza” (Hello, Nadine budeg ya, bukannya bu Jajang barusan bilang: ‘Kirana, sedang apa kamu disini?’)

5. Nadine berbicara di telepon kepada bosnya: “Besok saya kembali ke Jakarta” (Besoknya Nadine masih di Tenggarong, tepe-tepe ke Denny sampe bikin Alya cemburu mampus. Lusa, Nadine masih Tenggarong dan bikin ibu si Denny emosi tingkat dewa).

Hehehe… Lucu kan???

Movie Review: Assalamualaikum Beijing

7/10

IMG_1512.JPG

Awalnya saya sempat ragu dengan film ini yang memajang poster sama seperti film Perempuan Berkalung Sorban. Kedua film ini sama-sama memiliki poster Revalina yang wajahnya di close up dan memakai kerudung, membuat saya trauma melihatnya karena Perempuan Berkalung Sorban penuh dengan propaganda neolib.

Tapi ternyata, Assalamualaikum Beijing jauh dari neolib.

Film bercerita tentang seorang muslimah bernama Asma yang memutuskan untuk tinggal dan bekerja di Beijing sebagai koresponden media Indonesia, setelah membatalkan rencana pernikahannya karena calon suaminya ketahuan selingkuh.
Di Beijing Asma bertemu dengan cowok lokal yang membuat Asma klepek-klepek.

Satu-satunya alasan saya memberi nilai 7 pada film ini, bukan 6, karena karakter Asma yang ditampilkan sangat realistis seperti kebanyakan muslimah yang saya kenal, yaitu kuat, tegar, mandiri, tidak cengeng, dan pintar. Karakter muslimah seperti ini sangat jarang saya lihat ditampilkan di film-film lokal sebelumnya. Bravo buat penulis novelnya, Asma Nadia.

Film ini pun gak melulu berkisah tentang cinta-cintaan yang cengeng. Asma bukan perempuan yang sibuk mencari jodoh seperti film-film islami lainnya, seolah-olah menikah adalah tujuan utama dalam hidup. Jodoh Asma datang dengan sendirinya seiring dengan sifat Asma yang tawakkal dan bersabar.

Aspek positif lainnya di film ini adalah, tidak ada over dramatisir. Asma yang dikisahkan … (No Spoiler), penulis tidak menjadikan momen tersebut sebagai penguras air mata penonton. Malah Asma dibiarkan berjuang dan bangkit kembali walau tak bisa seperti semula.

Kekurangan yang saya rasakan ada pada judul Beijing itu sendiri. Beijing ditampilkan di layar dengan rasa yang generik. Tak ada bedanya Beijing di film ini dengan Beijing yang ditampilkan di acara jalan-jalan di televisi. Harusnya pengalaman di Beijing dapat membawa perkembangan karakternya si Asma, bukan cuma sekedar gambar-gambar indah kota Beijing.

IMG_1513.JPG

Overall, saya rekomendasi film Assalamualaikum Beijing kepada semua orang, apapun agamanya, supaya bisa mengenal seperti apa karakter muslimah yang sebenarnya. Syukurlah film ini bisa mewakilinya.

Movie Review: Blue Jasmine

8/10

best-movie-quotes-oscars-2014-best-picture-nominees-blue-jasmine

Tak ada orang yang bisa menertawakan kesialan orang lain dalam sebuah film seperti yang dilakukan oleh Woody Allen. He is The Best Man for The Job.

Blue Jasmine bercerita tentang bagaimana Jasmine berusaha bangkit kembali setelah bangkrut akibat kejahatan suaminya yang berbisnis dengan cara ilegal. Jasmine kemudian menumpang hidup di apartemen adiknya, Ginger, dan berusaha menata hidupnya kembali.

Kalau biasanya dark comedy yang pernah saya tonton bercerita tentang orang-orang jahat (macam perampok, penjudi, penipu, dll) berusaha melancarkan aksinya namun terus menerus mendapat kesialan, atau engga (terakhir nonton film super lucu We’re The Miller, salah satu contoh dark comedy yang bagus belakangan ini), maka Blue Jasmine menceritakan tentang orang miskin yang sombong, gak tahu diri, gak tahu malu, dan muka tembok serta muka badak. Semua karakter itu ada di diri Jasmine. Memang rada gak sopan sih menertawakan kehidupan sial orang lain, tapi kalo melihat sifat-sifatnya yang seperti itu, siapa juga yang mau mengasihini dia.

Kenyataan bahwa Allen membeberkan flash back kehidupan masa lalu Jasmine (yang gak terlalu lampau) yang lompat-lompat pada beberapa scene, seolah ingin memberikan reasoning terhadap segala perilaku dan sifat Jasmine. Namun kemudian Allen menghempaskan penonton kembali kepada realitas masa kini Jasmine yang sudah jatuh miskin namun tak tahu diri, tetap berlagak seperti orang tajir, hell no, Jasmine, you can go to hell.

Setelah nonton film ini saya jadi mikir, kadang kita ketemu sama manusia-manusia yang kayak gini. Kita tahu bahwasannya sifat dasar manusia itu ada dua, baik dan buruk, tergantung yang mana yang dominan. Tapi toh, walaupun keburukan yang dominan, tetap ada kebaikan tertinggal dalam hati. Kalau yang baik itupun sudah tak lagi tampak pada diri manusia, untuk apa kita baik-baikin dan berbaik sangka kepada orang itu? Orang-orang kayak gini gak patut dikasihani. Dan khusus untuk orang-orang dengan perilaku seperti ini, bahkan tawa miris pun terlalu luxury untuk mereka. Mereka wajib kita tertawakan dengan tawa lepas yang terpingkal-pingkal.

BLUE-JASMINE

Tadinya saya berharap Amy Adams yang bakal menang Oscar lewat film American Hustle. Lagipula Blanchett dan Streep sudah pernah menang Oscar, dan ini nominasi Oscar Adams yang sudah entah keberapa kali. Tapi setelah nonton Blue Jasmine, memang patutlah Blanchett yang dapat Oscar. Aktingnya sangat kuat dan menjadi daya tarik utama film ini. Gak nyangka aja Blanchett yang biasa dapat peran sebagai wanita tangguh, kuat, baik-baik, pokoknya peran positif deh, kali ini bisa berakting menyebalkan dengan sangat wajar.  And finally, Oscar-nom for Sally Hawkins.

This movie is a must see for Dark Comedy lover.

Movie Review: Haji Backpacker

6/10

20140520_141952

Pada suatu hari, certain filmmakers berencana untuk membuat sebuah film, dan inilah iterinary mereka:

1. Lets make a movie based on bestselling book dengan judul yang catchy dan provocative = Haji Backpacker. Check.
2. Ambil kalimat-kalimat dialog yang bagus dan quoteable dari buku dan masukkan ke dalam film, sebanyak mungkin. The more is the merrier. Check.
3. Hire penata musik untuk mencipta musik film yang nonstop sepanjang durasi film, dengan melodi yang melengking menyayat-nyayat hati dan membuat kuping penonton berdarah-darah. Check.
4. Last but not least, ambil scene-scene panorama, scenery, dan city light dengan metode fast forward dan dari kejauhan di atas bukit tanpa menyadari adegan-adegan seperti itu sudah jamak ditampilkan di acara jalan-jalan bersama artis di televisi swasta. Check.

And the result is …. TOO MUCH.

Quite a change from last night with Tabula Rasa yang mengusung pakem less is more, Haji Backpacker justru sebaliknya, menganut pakem too much is nothing.
(Okay, now you will be questioning, how come i am able to watch movies in cinema 2 nights in a row?
Well, i’m single. What can you expect me speding my night except by going to mall and watch movies???)

Haji Backpacker menggunakan semua jurus dan resep film bagus dan berkualitas yang pernah ditulis di setiap good film textbook, namun sayangnya, mereka tak menyambung semua resep itu dengan feeling.
Jadilah si filmmaker tadi berusaha untuk telling a story, tapi karena lack of feeling, film ini jadi kehilangan fokus.
Sebentar-sebentar muncul adegan panorama dan citylight, lalu kemudian muncul adegan mada berdialog dengan pemain lain menggunakan kata-kata filosofis, lalu muncul adegan mada sedang bermimpi, lalu muncul adegan si mada sedang pasang tampang kucel. Semua adegan berjalan dan ditampilkan dengan pace yang cepat tanpa ada substansi yang menggugah rasa selain untuk kontinuiti cerita. Dan yang lebih parah, musik scoring nya yang gak berhenti dari awal sampe akhir film sangat sangat sangat mengganggu kuping penonton, dan merusak mood cerita.

Seandainya saja filmmaker memperlambat pace cerita, membiarkan cerita mengalir dari hal-hal kecil yang ditemui dan dilakukan mada selama backpacking, namun menambah kedewasaan mada. Gak perlu lah mada ditampilkan berhalusinasi bertemu dengan si … (No spoiler) hanya untuk membuat klimaks cerita.

Sungguh disayangkan interpretasi film seperti ini, whilst road movie seperti ini sangat potensial untuk menjadi film berkualitas dan festival darling, alih-alih hanya menjadi another indonesian cash in – pop – eyecandy movie.

d7a332411e14769f300879cf8b1d4da6_XL

Movie Review: Soekarno The Movie Extended Version

6/10 soekarno-131224c Biasanya extended version tu 3 atau 4 jam, tapi ini cuma 2.5jam, what the…???

Soekarno adalah sosok yang legendaris dan dikenal di seluruh dunia. Biopic tentang Soekarno seharusnya menjadi sangat penting dan digarap dengan serius dan penuh harapan. Sayangnya di film ini, yang kelihatan serius cuma pemain film nya aja. Selama durasi 2.5 jam, saya merasa gak mendapatkan feel apapun tentang diri Soekarno sebagai seorang proklamator Indonesia, presiden pertama Indonesia, dan pendiri bangsa ini.

Hanung seperti mempadatkan kisah hidup Soekarno dari kecil sampai menjadi proklamator seefektif dan efisien mungkin, hingga melupakan transfer emotion dan feeling tentang diri Soekarno dari Hanung ke penonton. Yang ada penonton disuguhi jalan hidup Soekarno sebanyak mungkin yang berlomba-lomba dengan durasi film. Emosi dan perasaan Soekarno sebagai seorang pahlawan tak berbekas di hati saya sebagai penonton dan anak bangsa. Adegan Soekarno berpidato terasa kosong tak berisi, hanya tertolong oleh akting Ario Bayu yang berapi-api. Bahkan di beberapa scene Soekarno seperti terlihat lemah di hadapan penjajah jepang, dan justru malah tokoh Sjahrier yang diperankan Tanta Ginting yang lebih condong ke rakyat dibandingkan Soekarno.

Dan i don’t know, but saya merasa Hanung memilih adegan-adegan mungkin sangat penting artinya dalam sejarah Indonesia namun Hanung mengcapture-nya tanpa ada emosi dan perasaan sehingga tak berbekas di hati penonton. Dan adegan penyusunan naskah proklamasi yang sangat penting itu diganti dengan adegan tak berdialog diiringi lagu yang dinyanyikan Rossa. Padahal kalau hanung niat, adegan ini bisa menjadi adegan klimaks yang penuh arti. Sayangnya eksekusi oleh Hanung seperti tadi saya sebutkan. Dan jangan berharap bisa menyaksikan adegan proklamasi yang lengkap dan utuh ya, karena gak disajikan di film ini.

Tentu saja, hanung tak lupa untuk memasukkan pesan pluralisme seperti biasanya, kali ini pada adegan debat mengenai Pancasila. Bahkan hanung harus membuat Soekarno bersalaman dengan kyai berjenggot putih panjang yang menyelamatinya karena sudah mengakomodir penetapan pancasila bagi segala jenis golongan. oalah… (hanung selanjutnya akan membuat film tentang jilbab… sudah jelas kan arahnya kemana…!!!)

Nilai plus film ini ada pada akting pemainnya yang serius (Ario Bayu, Maudy, Tanta Ginting, Tika Bravani), kostum serta setting yang digarap baik. Namun tetap saja, nyawa film juga ada di sutradara dan penulis naskah, dua departemen yang tak bekerja dengan baik di film ini. Saya berharap akan dibuat film Soekarno lainnya yang lebih fokus dan lebih baik daripada film ini, amin. 592x342-film-soekarno-versi-extended-version-akan-tayang-di-bioskop-140702k

Movie Review: Interstellar

8/10

Interstellar-Movie-HD-Images-540x360

2001: A Space Odyssey is an art movie. Its Genius.
Whereas Interstellar is a good movie, it’s even very good indeed. Tapi interstellar cuma bisa mendekati 2001, kelasnya belum bisa disamakan dengan 2001.
2001 memberikan gambaran yang mengejutkan (pada masanya) tentang bagaimana kehidupan astronot di luar angkasa, dan saya rasa masih relevan hingga saat ini. Itu yg membuat 2001 menjadi film luar angkasa terbaik sepanjang masa, dan belum ada yg bisa menggesernya.


The problem with interstellar, Nolan terlalu banyak memasukkan unsur drama, tragedy, dan sentimental ke dalam cerita, hingga terasa exaggerated, dan tereksekusi menjadi agak lebay. Saya gak yakin seorang astronot akan nangis mewek ketika menonton video anaknya. Dan lebih gak yakin ada astronot yg gak bisa mengukur keselamatan diri dan tim astronotnya demi mengambil data roket yang tercecer di laut. Bukannya seorang astronot biasanya adalah orang-orang yg lebih sering memakai otak kiri nya???


Dont get me wrong, McCounaughey memberikan performa akting yg sangat baik, sesuai tuntutan naskah yg agak lebay. Tapi justru aktingnya yg membuat film ini menjadi terasa unreal.


Dan satu lagi, penyelesaiannya, alias ending nya, kinda generic. C’mon, give us something new, Nolan.


Other than that, this movie is great. Ide nya gak orisinil, tapi konsepnya sangat brilian, khas Nolan. Penggambaran outer spacenya fantastis, kadang memberikan feel scary, kadang feel lonely, kadang there’s hope. Nolan sukses di departemen visual dan special effect.


Dan signature nya film ini: musik top markotop dari Hans Zimmer. Bikin merinding cuy. Nadanya meliuk-liuk, musik yg mencekam dalam 2 detik bisa berubah menjadi musik yang damai penuh pengharapan, lalu berubah lagi nadanya menjadi menghentak penuh ketegangan. Zimmer wajib dapat Oscar atas hasil karyanya ini.
Overall, yes drama is necessary nowadays, but really, we missed pure art movie. This is not Nolan best work, but this is the better space movie I’ve seen in years.

interstellar-movie-still-007-1500x1000

Movie Review: Tabula Rasa

8/10

BfX9pm_CAAAZdyr

For those who are constantly complaining about how cinemas filled with stupid Indonesian horror movies, they need to watch this movie. Film ini punya pesan yang kuat, dan banyak, namun disajikan dengan sederhana, yaitu melalui masakan padang. Ajaibnya lagi, seluruh scene, setting, acting pemain, dan dialog dalam film ini sangat sederhana namun sarat makna, dan yang paling penting, sangat nendang. Ibaratnya masakan, ingredient nya mudah didapat, namun diracik dengan tepat sehingga rasanya ajib. Dan terjadilah pengelaman saya sepanjang ini, saya tertawa, terharu, tergugah, sedih, dan gembira dalam masa yang bersamaan.

Yang paling saya suka dari film ini adalah (walaupun saya sudah sering melihatnya di film lain) mereka membuat scene yang sederhana menjadi sarat makna. Contohnya bagaimana Uda Parmanto menangis tersedu ketika makan nasi dengan lauk gulai kepala ikan yang mengingatkannya akan kampung halamannya di Sumatera Barat. Kemudian ada lagi dialog sederhana yang biasa kita lakukan sehari-hari, begitu diangkat ke dalam film ini yaitu dialog antara Hans dan Natsir, atau Natsir dengan Amak, dll terasa sangat lucu dan menghibur, dan menunjukkan keakraban yang apa adanya di antara teman. Apalagi ditampilkan dalam bahasa padang, nilainya menjadi plus plus plus .

Namun scene yang paling saya suka, dan saya bersyukur scene ini pernah dibuat di film Indonesia dan saya berkesempatan menontonnya di bioskop, adalah scene ketika Hans pertama kali makan nasi dengan lauk gulai kepala ikan kakap. Ekspresi Jimmy Kobagau sangat genuine, scene itu sangat mengharukan, yet sangat sederhana, I just love it so much.

Yang juga sangat jenius dari filmmaker nya, mereka memotong habis tak berbekas masa-masa Hans terkena cedera kaki hingga menjadi gelandangan di Jakarta. Mereka sadar penonton gak butuh kisah yang mengundang simpati haru biru khas sinetron.

To cut a slack, Tabula Rasa IMHO is the best Indonesian Film in years, and I believe years to come. Film ini adalah salah satu film terpenting yang pernah dibuat di Indonesia, dan yang terbaik yang saya tonton bertahun-tahun setelah terakhir kali nonton film sebagus ini, yaitu Pasir Berbisik.

Satu hal saja yang menghalangi saya memberikan nilai 9 kepada film ini adalah filmmaker yang cukup stereotyped. Orang padang mesti buka restoran padang, orang papua diasosiasikan pandai sepak bola, while in fact orang padang dan orang papua banyak yang menjadi PNS, pengusaha, pedagang, artis, penulis, wartawan, dsb.

tabularasa-4

Movie Review: Annabelle

6/10

annabelle

Kami (sebagai penonton) paham kalau hantu-hantu itu bergentayangan di rumah tua dan mengganggu penghuni rumah yang baru pindah kesana. It’s called bad luck. Kami juga paham kalo ada hantu yang menganggu sekelompok remaja yang sedang berlibur ke tengah hutan. Kelompok remaja ini menggelar pesta miras, seks dan narkoba. Well, mereka memang pantas untuk dihantui oleh para hantu usil. Tapi kami gagal paham kalo ada keluarga muda yang baik budi dan tak bersalah jadi korban keusilan hantu-hantu. Apa dosa mereka?? (apalagi ibu mudanya cantik banget lagi). Jadi sepanjang nonton film Annabelle, saya menyayangkan penulis naskah yang tega membuat Mia yang kesepian karena sering ditinggal suaminya bekerja, dan juga sangat cantik, menjadi korban keusilan hantu Annabelle. Huh…

Another thing, setahu saya, sekte-sekte pemuja setan biasanya merasuki manusia, orang-orang dengan ambisi besar yang menghalalkan segala cara, dan Lady Gaga. Baru di film Annabelle si sekte pemuja setan ini merasuki boneka, apakah sekte ini memperbaharui SOP mereka? Huge question mark.

One more thing: puh liiss dahling, get rid of a stupid ending.

Bad ending…??? Biasa….

Tapi ridiculous ending…??? Beyond stupid dan beyond anything bad.

I just wanna lough out loud to see the ending, ooo… ternyata … di…. hanya untuk di…. di ending nya…

(no spoiler. Sorry).

Overall, Annabelle cukup intense dari sisi scarynya, beberapa scene cukup mencekam dan membuat stress penonton. Tapi masih kalah jauuuh dari The Conjuring. Beberapa bagian cerita dan scene Annabelle sering diulang di film-film lainnya, bahkan di film seri medioker (Ghost Whisperer dan Charmed), seperti sekte pemuja setan, kemunculan demon, dsb. Bahkan adegan scary di basement apartemen is too predictable. Mungkin ini yang menyebabkan James Wan absen dari kursi sutradara, dan menyerahkannya kepada what his name.

APphoto_Film Review-Annabelle