Movie Review: TURAH 

5.5/10

Turah (bukan Lambe Turah) adalah film tentang kehidupan warga di sebuah perkampungan. Bahasa dipakai dalam film ini adalah bahasa Jawa dengan dialek Tegal. Dinamika kehidupan masyarakat miskin di perkampungan di pinggir kali menjadi pusat utama film. Sifat iri dan dengki, perselingkuhan, fitnah, persaingan, pertengkaran rumah tangga, dan hal-hal lainnya yang biasa terjadi dalam masyarakat kampung digambarkan secara gamblang dan apa-adanya dalam Turah.

Setelah SITI dan ZIARAH, Turah dihadirkan dalam rangka meramaikan sinema Indonesia yang memiliki ciri khas lokal. Masalahnya, level Turah jauh di bawah ZIARAH, apalagi SITI.

Dengan berjalannya cerita Turah, saya duduk di kursi bioskop sambil mikir-mikir, apa sih yang kurang dari film Turah? Koq ceritanya seperti kurang sedap. 

Mendekati akhir film, saya baru sadar. Dengan tujan untuk memberikan sebuah gambaran otentik mengenai kehidupan masyarakat kampung, sineas menampilkan gambar-gambar, dialog dan cerita yang sangat apa-adanya. Bahkan, saking apa-adanya, Turah sama sekali tidak membekas di hati saya. Tidak seperti SITI dan ZIARAH yang sampai sekarang masih saya ingat betul karena saking briliannya kedua film itu. Menonton Turah, ya seperti menonton masyarakat sekitar kita saja, kita lihat sebentar sambil lalu, kemudian ya kita lupakan. Ya sudah begitu saja.

Ada sih kejujuran dalam Turah, but we don’t really care about those people in TURAH. Sama sekali tidak menggugah rasa.

Memang iya sih, sebuah film yang jujur harus menggambarkan situasi yang mendekati kenyataan. Tapi film harus memberikan sesuatu yang lebih agar audience peduli pada kontinuitas cerita dan tokoh-tokoh di dalamnya. 

Sedikit dramatisasi yang tidak berlebihan, musik yang muncul di adegan-adegan yang tepat, dialog yang penuh makna tapi tidak menggurui, adalah sebagian dari sedikit resep untuk sebuah film yang baik. It’s called cinematic. SITI dan ZIARAH punya semua resep itu, tapi Turah tidak.

Overall, Turah menambah perbendaharaan baru akan sebuah dinamika kehidupan di dalam masyarakat lokal Indonesia. Ceritanya cukup nyata, bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di masyarakat kampung, tapi bisa terjadi juga di masyarakat manapun (kaya miskin tua muda). Sayangnya Turah tidak meninggalkan kesan apapun di hati penikmat sinema.

Movie Review: Annabelle Creation

7/10

Annabelle Creation is way way way better than the first Annabelle. Annabelle Creation menggunakan semua elemen film horor klasik untuk menakut-nakuti penonton. And it works very well.

Some of those elements are:
1. Pencahayaan minim dan remang-remang sepanjang film
2. Setting yang terisolasi dari masyarakat umum.
3. Latar belakang cerita yang kuat dan sangat kelam.
4. Musik latar yang sunyi, nggak heboh, nggak sering muncul, malah menambah kuat suasana mencekam.
5. Dan elemen terpenting adalah tokoh utama yang tak berdaya, yang sialnya menjadi objek keisengan hantu jahat. Siapa yang tak kasihan melihat anak-anak yatim piatu diganggu roh jahat? We care about those orphan girls. Penonton rela bertahan di kursi bioskop selama dua jam demi mengetahui nasib anak-anak yatim piatu itu walau sudah ketakutan setengah mati bahkan hampir kencing di celana.

Akhir kata, cuma satu kalimat ini yang bisa menggambarkan Annabelle Creation: penonton menjerit-jerit histeris sepanjang film. 

Movie Review: Baywatch

Baywatch 5/10

Ada alasan kuat mengapa Baywatch di tahun 90-an hanya menjadi serial tv alih-alih film layar lebar. Karena cerita ala-ala penjaga pantai sangat dangkal dan sulit untuk digali kedalaman materi ceritanya. Cerita hanya bekisar tentang penyelamatan orang-orang di pinggir pantai atau tentang pembongkaran tindak kriminal yang hanya bisa terjadi di seputaran pantai. Jelas sekali kedalaman cerita bukanlah jualan utama dari film seri Baywatch. Beautiful people in shorts and bathing suits are their priorities, ditambah dengan sedikit komedi lah. 

Makanya ketika The Rock berambisi untuk meremake, ia gagal total karena tidak menyadari apa esensi utama dari film seri Baywatch yang membuatnya memiliki fans berat dan bisa bertahan bertahun-tahun di televisi. The Rock terlihat berusaha kuat untuk membuat Baywatch versi remake bisa diterima oleh kalangan manapun (alias tidak dianggap hanya menjual tubuh setengah telanjang bintang filmnya) dengan cara memasukkan semua unsur cerita yang bisa dimasukkan ke dalam film jenis ini. Hasilnya, medioker dan serba nanggung. 

Crime storynya tidak pantas untuk diangkat ke layar lebar (bahkan banyak crime tv series yang ceritanya jauh – jauh – dan jauh lebih baik daripada film ini), unsur komedinya sangat aneh dan dipaksakan, adegan actionnya sangat-sangat nanggung (di edit sana-sini hanya untuk menunjukkan bagian yang mereka pikir keren saja), pendalaman karakter pada dua tokoh utama – The Rock dan Zach Efron – sangat generik dan membuat tokoh-tokoh lain terkesan tidak penting dan terpinggirkan (padahal seharusnya tokoh-tokoh wanitanya lah yang menjadi fokus utama dalam film ini, alih-alih mereka hanya menjadi pelengkap penderita saja, seandainya eksistensi mereka ditiadakan pun, ceritanya akan tetap berjalan). Dan yang paling membuat saya muak adalah slow motion tanpa henti sepanjang film. 

Bagi yang berharap menonton cewek-cewek seksi dalam balutan pakaian renang, anda akan mendapatkannya walau hanya muncul sebentar di beberapa adegan. 

In conclusion, film Baywatch ini gagal total. 

Sesungguhnya, hanya ada dua pilihan bagi The Rock dalam melakukan adaptasi terhadap film seri Baywatch. Yang pertama adalah mengembalikan film ini sesuai dengan fitrahnya, yaitu hanya menjual keseksian pemain filmnya (sesuai dengan ekspektasi fans film serinya dan sebagian besar manusia di permukaan bumi ini) atau menjadikan film ini sebagai pure crime story. Walaupun tentunya, pilihan manapun akan tetap menjadikan Baywatch tidak lebih dari sebuah film pop corn, tapi paling tidak bisa menghibur penonton tanpa harus mengernyitkan alis. Namun The Rock mencoba untuk bermain di tengah-tengah antara crime story dan sexy movie yang malah membuat film ini karam ke dasar laut yang paling dalam.

Movie Review: Dunkirk

9/10

Dunkirk adalah kisah heroik tentang penyelamatan sekitar 400ribu prajurit Inggris yang terkonsentrasi di kawasan pantai Dunkirk. Berlatar belakang setting perang dunia kedua, film diceritakan dalam tiga sequence secara tumpang tindih, yaitu dari sisi tiga orang prajurit yang mencari tumpangan kapal untuk menyelamatkan diri, dua orang penembak jitu di udara yang mencoba melindungi kapal serta seluruh prajurit yang berada di atasnya, dan seorang lelaki British paruh baya yang berlayar menuju Dunkirk untuk menyelamatkan prajurit yang tersisa disana. Mencekamnya suasana Dunkirk pernah digambarkan dalam film berkualitas, Atonement, sepuluh tahun yang lalu. Namun Dunkirk ala Nolan sangat berbeda.

Jika anda ingin menonton film perang yang sangat tegang hingga tanpa sadar anda berpegangan tangan pada kursi bioskop seolah sedang menonton film horor, maka tontonlah Dunkirk. Kali ini Christopher Nolan menghasilkan sebuah mahakarya yang melebihi ekspektasi semua orang. Penggemar Nolan pasti masih teringat betapa terperangahnya mereka dibuat oleh Nolan ketika menelurkan Inception. Lalu lumayan kecewa dengan Interstellar. Dengan Dunkirk, Nolan membuat semua orang puas. Pecinta film seni dan pecinta film mainstream kali ini boleh bersalaman damai.

Dunkirk merupakan gabungan antara seni sinema yang nyaris sempurna dengan ekspektasi sebuah film mainstream. Segala elemen dalam film ini bekerja maksimal untuk menciptakan kepuasan sinematik yang tiada tara. Visual yang indah namun dapat berubah menjadi mencekam sesuai dengan ritme cerita (walau harus saya akui, Dunkirk ala Nolan tak sedramatis penggambaran Dunkirk ala Joe Wright dalam Atonement), ceritanya nggak njelimet seperti film-film Nolan lainnya (even Batman sekalipun masih lumayan njelimet ceritanya), kisah patriotik namun sangat manusiawi (tidak melulu heroik, banyak momen-momen yang menggambarkan sifat abu-abu seorang insan manusia), dan tentu saja, musik karya Hans Zimmer yang epik (saya masih merinding jika terngiang suara musiknya yang mencekam). Kesemua elemen tadi sangat intens ditampilkan hingga saya sendiri nyaris menahan nafas sepanjang film. 

All in all, Dunkirk adalah sebuah film seni yang ngeblend dengan elemen mainstream. Film ini sempurna bagi saya, hingga saya menarik kesimpulan bahwa Stanley Kubrick bukan lagi tak tergantikan. 

Movie Review: The Doll 2

The Doll 2
(Luna Maya, Herjunot Ali)

5,5/10

IMG_5746

Film The Doll 2 ini bagaikan nano-nano, ramai rasanya, tapi nano-nanonya basi karena rasanya nggak enak. The Doll 2 seperti kebingungan hendak menentukan genre horor apa sebenarnya film ini. Cerita diawali dengan adegan horor yang heboh. Lalu cerita disambung dengan horor misteri, lalu muncul adegan cerita horor klenik, tiba-tiba ceritanya berubah menjadi horor gory yang berdarah-darah. Kemudian mendekati ending, ceritanya malah jadi drama. Sambung menyambung cerita kayak selembar kain yang ditambal dengan berbagai kacam kain perca membuat film ini jadi terlihat aneh.

Dan yang menambah buruk, banyak adegan dan cerita yang ‘terinspirasi’ oleh film-film lain (kalau saya tulis ‘menyontek’, ntar saya dibilang terlalu nyinyir. Ya sudah pakai istilah terinspirasi saja lah). Okey, saya sebut satu per satu ya: The Conjuring, Insidious, Saw, The Grudge, Scream, The Exorcist, Annabelle, dll, dsb, endesbra, endesbre.

Seperti belum cukup buruk, film maker harus pula menambah lagi keanehan ceritanya. Pada satu titik dalam film ini, ketika penonton berpikir ceritanya sudah nyaris tamat, ternyata tidak, penderitaan penonton masih berlanjut… lama… banget… Endingnya dipanjang-panjangin, penjahatnya tidak kunjung mati walau sudah berdarah-darah. Ya ala-ala film India lah.

Oh ya, musik kaget-kagetan dan musik yang melengking tinggi di film ini cukup mengganggu dan sebenarnya tidak penting. Kalau saja filmmakernya serius menangani cerita dan elemen lain dalam film ini yang sebenarnya sudah punya modal sangat baik untuk digarap menjadi film horor yang benar-benar seram, film ini pasti tereksekusi menjadi film horor yang baik. Sayangnya hal tersebut tidak terjadi. Malahan filmmaker terlalu sibuk mengagetkan penonton dengan musik yang super heboh dan membuat penonton bernostalgia dengan film-film horor hollywood lainnya.

Meskipun begitu, The Doll 2 masih lumayan lah dibandingkan film Danur yang tidak ada seram-seramnya itu. Paling tidak kamu pasti akan berjengit dan menaikkan alis mata melihat beberapa adegan sadis dalam film ini.

O yah, akting Luna Maya lumayan believable dalam film ini. Dan finally (I cannot believe I’m saying this), akting lebay Herjunot Ali agak berkurang disini.

Movie Review: Black Mass

Rating 8/10

7547828_G

James ‘Whitley’ Bulger alias Jimmy, mafia dan kriminal paling ditakuti di Boston Selatan, adalah pusat cerita dari film Black Mass. Film ini menceritakan bagaimana karir kriminalnya mulai tahun 70-an sampai akhirnya harus kabur keluar negeri akibat jadi buronan FBI di tahun 90-an, hingga ditangkap di tahun 2011.

Jika film-film kriminal dan mafia lain seolah ingin memanusiawikan si mafia/kriminal itu (c0ntohnya The Godfather, Scarface) dengan mengangkat cerita keluarga dan masa lalunya, tidak melulu tentang kejahatannya; maka Black Mass seolah menjadi antiklimaks film-film Mafia berkualitas itu. Black Mass justru menampilkan sosok mafia yang kesetanan, setan-sesetan-setannya. Pokoknya Whitley Bulger alias Jimmy ini sangat jahat banget. Sedikit-sedikit langsung main bunuh saja. Tidak ada satu kebaikan yang bisa diingat dari Whitley Bulger selain hobi membunuhnya untuk melancarkan urusan dan menyelamatkan nyawanya sendiri. Jadi tak ada tokoh protagonis di film ini. Tokoh-tokoh utamanya antagonis semua, dan cerita film memberi ruang seluas-luasnya pada penonton untuk membenci dan ketakutan pada mereka.

Menonton film ini serasa menonton film horor yang super kejam karena tak ada jejak kebaikan yang berbekas dari diri Whitley Bulger. Ditambah tampang dan akting Johnny Depp yang dingin, lengkaplah sudah Black Mass akan terus diingat sebagai film mafia yang menyeramkan. Saya berasa horor banget karena nggak bakal nyangka kapan dan siapa orang yang hendak dibunuh Jimmy. Dia bisa membunuh siapapun yang ia mau sewaktu-waktu tanpa ada rasa kasihan sedikitpun.

Jangan sampe terlewat scene makan malam di rumah Connoly yang bikin bulu kuduk meremang. Sumpah, horor banget. Saya yakin, penonton pasti ketakutan terhadap Jimmy yang bakal membunuhi orang-orang disana sesukanya, setelah ia ngemeng-ngemeng ngancam dengan tampang seramnya itu. Siapapun nggak bakal ada yang mau diundang ke makan malam seperti itu. Hiiii….

black-mass-johnny-depp1

Let’s talk about Johnny Depp’s acting. Sudah bukan rahasia lagi, sejak pertama kali dinominasikan Oscar untuk Aktor Terbaik tahun 2004 di film Pirates Of Carribean, Depp seolah bekerja keras untuk mendapatkan Oscar sebagai Cherry On The Top karirnya di Hollywood. Sampai saat ini, ia sudah mengumpulkan tiga nominasi namun belum sukses membawa pulang Oscar. Sejujurnya, Depp punya kans besar untuk dinominasikan lagi tahun depan untuk aktingnya di film ini. Akting super kejam yang diminta oleh script, yang tidak memberi ruang untuk sisi manusiawi seorang Whitley Bulger, diperankan dengan sangat baik oleh Depp. Tapi saya merasa Depp lebih mirip Dracula di film ini. Dandanannya (rambut nyaris putih, botak depan, mata biru terang, tulang pipi yang indah namun menyeramkan, gigi yang kuning menghitam, sikap kejam tanpa ada rasa kasihan) benar-benar representasi sempurna dari tokoh legendaris Dracula. Selama film berlangsung, saya nunggu-nunggu, kapan nih Depp bakal mengembangkan sayap kelelawarnya dan menunjukkan gigi tajamnya. Hehehe… Not my favorite work from Depp. Kalo disuruh milih, akting Depp favorit saya adalah sebagai JM Barrie di film Finding Neverland. Harusnya Depp menang Oscar di film ini, namun hey, siapa yang bisa mengalahkan akting Jamie Foxx sebagai penyanyi buta yang bermain piano, Ray Charles.

Satu lagi yang menurut saya agak mengganggu adalah aktingnya Joel Edgerton sebagai John Connoly, yang sangat typical. Tindak tanduknya sebagai agen FBI bermuka dua sangat oppurtunis, diterjemahkan dengan akting nyebelin Edgerton di layar. Tapi koq rekan seprofesinya nggak ada yang menyadarinya? Akting obvious seperti ini menurut saya nggak supporting cerita, hanya untuk menambah emosi penonton agar percaya dan membenci karakter John Connoly ini. Typical akting seperti ini, dan akting lemotnya David Harbour, lebih cocok ditampilkan pada drama seri kriminal di Fox Channel.

Black Mass adalah drama kriminal dengan naskah yang kuat, diterjemahkan dengan sangat baik ke layar lebar. Akan terus diingat sebagai drama kriminal yang menonjolkan sisi kekejaman seorang kriminal terjahat sepanjang masa.

Movie Review: Everest

Rating : 7/10

IMG_2297.JPG

Based on a true story.
Harusnya ditambahi lagi dengan embel-embel: without over dramatize, try to focus on the truth but still redundant with stupid acting character. Well, not all of them, but still annoying big time.

Everest terlihat sangat berusaha untuk tidak menjual drama nggak masuk akal yang biasanya melibatkan karakter-karakter over acting yang beraksi superhero atau super sedih, dan super paranoid, serta super urakan.

Ceritanya berjalan dengan smooth. Dan seperti yang saya sebutkan di atas, para aktor berusaha menjaga integritas akting mereka sebagai pendaki yang benar-benar real, sehingga tidak ada over dramatisir yang dibuat-buat. Kekuatan film ini, selain no over dramatized, adalah lumayan detilnya perjalanan step-by-step para pendaki untuk naik dan turun Mount Everest, sehingga membuat ceritanya terasa real. Landscape Everestnya? Breathtaking! (Well, aku jarang nonton film genre mountain climbing, jadi menurutku gambar-gambar Mount Everest di film ini sangat indah). Dan jangan lupa klimaksnya yang sangat heartbreaking, yaitu saat Rob menelepon Jan. it’s so sad. I like this movie becos of this scene.

Tapi ya tetap aja ada satu dua karakter bodoh, yang selalu muncul di film-film seperti ini, yang membuat ceritanya repeated seperti film-film lain, agak redundant, dan fail. No spoiler ya, jadi saya nggak mungkin disclose disini karakter yang mana yang saya maksud. Yang pasti ni orang cuma mikirin naik ke puncak Everest karena ingin sukses naik ke puncak doang, dan bisa dibanggain sama warga di kampungnya, tanpa mikirin keselamatannya dan yang terpenting keselamatan orang lain.
Ketika sebuah agen wisata naik gunung Everest mengadakan Mount Everest Climbing, aku rasa segala sesuatu sudah diperhitungkan, termasuk yang paling utama yaitu keselamatan para pendaki. Human error atau kesalahan sekecil apapun, apalagi kesalahan yang hanya disebabkan oleh nafsu yang termasuk kebodohan, nggak akan mungkin terjadi dan nggak mungkin termaafkan. Well, kenyataannya, kesalahan bodoh seperti ini selalu berulang di film-film Hollywood. What the…

IMG_2296-0.JPG

I like this movie, but don’t love it. Everest menjadi pemuas dahaga bagi pecinta film mountain climbing yang memang jarang dibuat.

Movie Review: Demona

Rating 3/10

150915082demona

Hal-hal yang membuat film horor jadi menyeramkan dan menghantui pikiran penonton:

  1. Minimalisir hal-hal yang nggak masuk akal. Contohnya: memutuskan memakai narkoba di villa jorok, suram, dan sudah lama kosong (karena toh si ABG-ABG tua di film ini punya apartemen yang mewah dan cozy); memakai setting  villa tua yang berdebu namun ada barang-barang yang mengkilap dan baru, seperti diambil dari toko perabot setengah jam yang lalu (mesin jahit yang mengkilap, lampu teplok yang bersih tak berdebu seperti tak pernah dipakai, kursi goyang yang pernisnya masih kinclong). Kenapa harus diminimalisir? Karena keberadaan hantu sebenarnya sudah nggak masuk akal, jadi jangan ditambahin hal-hal nggak masuk akal lainnya sehingga membuat ‘lubang’ di cerita.
  2. Tampilkan karakter-karakter yang merenggut rasa kasihan dan empati penonton. Jangan tampilkan karakter-karakter memuakkan, yang terdiri dari anak-anak orang kaya yang hidupnya hanya untuk bersenang-senang lalu memakai narkoba, tanpa diketahui dengan jelas latar belakang dan siapa orang tua mereka. Sehingga penonton tahan duduk di bioskop menunggu nasib tak pasti karakter utama, karena penonton pasti berharap agar karakter-karakter utama yang baik budi dan patut dikasihani itu akan keluar hidup-hidup dari gangguan hantu-hantu usil.

Kalo sudah terlalu banyak hal nggak masuk akal sepanjang film dan karakter yang nggak patut dikasihani, lalu apa lagi kenikmatan menonton yang bisa ditunggu dari sebuah film horor? Jawabannya adalah: menyaksikan si karakter-karakter memuakkan itu mati satu persatu dengan cara yang sadis. Yeeeeeeeiiiiiisssshhh… Aseeekkkk…. Finally.

3rizaldlm

Oh ya, di endingnya film ini ternyata filmmaker memberikan pesan positif mengenai bahaya memakai narkoba. Yup, satu lagi alasan penting dan utama untuk berhenti menggunakan narkoba, yaitu gangguan hantu Demona bagi para pemakai narkoba. Kikikikik..

Movie Review: Bidadari Terakhir

Rating 4/10

838f7bd06d43c22eada9e0c22b32b466_2

Bidadari Terakhir bercerita tentang kehidupan seorang anak SMU yang berubah total sejak ia bertemu secara tak sengaja dengan seorang PSK. Rasya yang tadinya cupu dan kutu buku jatuh cinta pada Eva yang seorang PSK. Plot film berjalan di seputar jatuh bangun kehidupan percintaan mereka berdua.

At least, itulah kesimpulan yang saya ambil setelah menonton film ini. Karena sejujurnya saya bingung, sebenarnya tema apa yang hendak diangkat oleh filmmaker. Rasya digambarkan sebagai seorang anak SMU yang kikuk, lugu dan polos. Sedangkan Eva digambarkan sebagai PSK yang misterius (awalnya). Lalu apakah betul tema sentral film ini adalah kisah cinta berbeda dunia? Tapi koq nggak terasa gregetnya. Karena Whulandari Herman dan si pemeran Rasya itu sama sekali tak ada chemistry di sepanjang film. Mereka seperti berasal dari dua planet yang berbeda, yang terjebak dalam kisah cinta yang dipaksakan. Rasya dari Balikpapan, Eva dari planet Bekasi. Sama sekali tak ada kecocokan dari sisi manapun.

Lalu saya mulai berpikir, mungkin film ini mencoba untuk mengangkat perjalanan spiritual anak SMU, yaitu si Rasya. Penuh keingintahuan terhadap kehidupan yang sama sekali belum pernah ia ketahui, yaitu kehidupan seorang wanita malam. Dalam hal ini si Eva lah sebagai objek keingintahuannya.

Tapi koq ya,  tidak ada kedalaman emosi antara si Rasya dengan si Eva. Dialog percakapan antara Rasya dan Eva, saat mereka pertama kali bertemu, sama sekali tidak meninggalkan kesan yang mendalam. Mereka cuma ngobrol tentang hal-hal seperti ini: tipe-tipe laki-laki yang datang ke lokalisasi, dan sikap kikuk si Rasya. Selama berdialog, Eva bersikap as slutty as possible dan Rasya bersikap as innocent as possible. Dan durasi obrolan mereka terbilang singkat.

Lalu apa sebenarnya yang membuat Rasya tiba-tiba merasa tertohok dan terus kembali ke lokalisasi hanya untuk bertemu dan mengobrol dengan Eva? Yang pasti bukan karena obrolan mereka yang nggak berbobot itu. Oh, ‘mungkin’ karena sikap misterius si Eva.

Whulandari Herman sangat pas berperan sebagai Eva sang PSK. Tubuhnya aduhai, gerakan bibirnya merah menggoda, dan tatapan matanya membius. Tapi, hanya itu kesan yang saya (penonton) dapat dari Eva.  Tak ada kesan misterius yang membuat saya penasaran akan sosok Eva. Sehingga semisalnya saya adalah Rasya, saya nggak mau repot-repot kembali ke lokalisasi kalo hanya untuk mengobrol dengan Eva. Jadi kalo Rasya terus menerus kembali ke Lokalisasi untuk bertemu dengan Eva dan akhirnya pacaran dengannya, ya bisa dipastikan satu-satunya alasan adalah karena kecantikan dan keseksian Eva.

Rasya sendiri coba untuk digambarkan sebagai anak yang dikekang oleh keinginan ayahnya, yang mengatur hidup dan masa depannya. Sehingga Rasya begitu penasaran begitu ia bersenggolan dengan kehidupan orang lain yang sama sekali belum pernah ia kenal. Sayangnya pesan yang ini nggak nendang sama sekali. Sang ayah yang diperankan oleh Ikang Fawzy memberikan akting seorang ayah yang positif, bijaksana dan arif. Kalo ayahnya seperti ini, maka memang si Rasyanya aja yang durhaka.

Dan satu lagi, maksud judul filmnya Bidadari Terakhir itu siapa ya? Apa si Eva atau si Maria yang sungguh patut dikasihani karena dapat durasi tayang yang super minim padahal wajahnya dipasang di poster film?

Yang juga lumayan mengganggu adalah akting pemeran Rasya. Ia berusaha keras agar terlihat cupu dan polos sepanjang film. Yang keluar dari ekspresi wajahnya malah ia seperti melihat hantu setiap kali berinteraksi dengan pemeran lain di film ini.

Bidadari Terakhir tereksekusi menjadi drama yang membingungkan dan bikin penonton menguap sepanjang film. Hal positif yang patut diapresiasi adalah niat tulus filmmaker mengangkat kota Balikpapan sebagai setting. Sudah saatnya kota-kota lain di Indonesia mendapat filmnya masing-masing sebagai reminder bahwa Indonesia adalah negara yang sangat luas dan kaya.

Movie Review: FIFTY SHADES OF GREY

5/10

IMG_1708.JPG

Awalnya, Saya mengira EL James adalah seorang penulis berjenis kelamin laki-laki. Karena dalam pikiran konservatif saya, hanya laki-laki yang berani mengekspresikan hasrat seksualnya dalam sebuah novel. Ternyata saya salah, EL James adalah perempuan. Lebih tepatnya ibu-ibu, atau tante-tante.
Dan novel Fifty Shades Of Grey berisi kata-kata ungkapan hasrat seksual, yang sebenarnya diinginkan penulis, berasal dari seorang mahasiswi muda yang masih perawan. Tapi kenyataannya, setelah membaca beberapa halaman awal bukunya, ungkapan hasrat seksual yang ditulis di buku itu lebih mewakili hasrat seksual seorang tante-tante jelek yang kegatalan dan sudah lama tak berhubungan seks dengan suaminya. Saya hanya membaca beberapa halaman awal bukunya, lalu lose interest sama sekali, dan menjual bukunya dengan potongan setengah harga di tokobagus.

Surprisingly, Dakota Johnson mampu menghidupkan sosok wanita lugu itu di dalam filmnya, melalui karakter Anastasia Steele. Padahal di dalam buku, sosok wanita lugu itu tak tergambarkan. Tatapan mata lugunya, gerakan bibirnya, tone suaranya, body language-nya ketika berhubungan seks, menunjukkan Dakota mampu berakting sesuai dengan karakter gadis lugu dan perawan itu. Begitu juga dengan Jamie Dornan yang tampil misterius dan sangat desireable melalui karakter Christian Grey. Saya rasa pujian patut diberikan kepada dua aktor ini, karena selain itu, film ini tak memiliki sisi positif sama sekali. Hal ini dikarenakan seluruh aspek sinematik lainnya dibangun berdasarkan adaptasi dari novelnya yang hanya berisi fantasi seks mesum. Jadilah cerita hanya berkisar pada dua tokoh utama yang berkenalan, lalu ngobrol sebentar, kemudian langsung ngeseks, lalu ngobrol lagi sambil dinner, lalu sambung ngeseks, lalu naik pesawat, lalu ngeseks lagi, lalu ngobrol lagi… Yada yada yada.
Intinya film ini hanya bercerita tentang seks, orang gila seks, seks sadis, dan ngeseks. Capeee deh… (Dan aku sendiri cukup kaget dengan banyaknya kata seks yang harus aku tuliskan di review ini demi mewakili apa isi film itu sebenarnya).

Bagi saya, film ini hanya menjadi kendaraan bagi Dakota Johnson dan Jamie Dornan untuk naik kelas menjadi aktor kelas A di Hollywood. Dan mereka sukses dalam hal itu. Selain itu, film ini sama sekali gak worth watching. Ceritanya terasa gak berisi dan hanya memprioritaskan seks.

IMG_1707.JPG

PS: saya nonton film ini di bioskop di Manila pas sedang liburan disana minggu lalu. Gak ada pemotongan adegan, hanya blur pada sebagian kecil layar ketika adegan seks. Ketelanjangan Dakota dan Jamie gak disensor ya!